Isnin, 13 Jun 2016

Syeikh Nuruddin dan Malaysia



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله


Sebagai putra Indonesia, nama KH Muhammad Nuruddin Al-Banjari mungkin belum begitu dikenal oleh kaum Muslimin negeri ini. Tapi, di negeri tetangga, Malaysia, nama dia sangat dikenal dan kesohor. Bahkan umat Islam di sana memberinya gelar syaikh, sebuah gelar kehormatan bagi seorang ulama.
Syaikh Nuruddin, begitu ia biasa dipanggil di Malaysia, adalah seorang ulama yang sangat dihormati dan selalu ditunggu-tunggu tausyiahnya oleh kaum Muslim di sana. Setiap mengisi ceramah, ribuan jamaah setia mendengarkannya. Isi ceramahnya pun banyak dibukukan dan di-CD (compact disk)-kan, yang kemudian beredar di internet.

“Saya berdakwah di Malaysia sejak tahun 1998,” jawabnya, ketika ditanya kapan mulai berdakwah di negeri tetangga tersebut.

Sebelumnya, dari tahun 1990 ia sudah membina para mahasiswa Malaysia yang kuliah di Al-Azhar, Mesir. Majelis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin, sebuah majelis ilmu yang didirikannya di Mesir, banyak diminati oleh mahasiswa dari Malaysia, Thailand, dan Indonesia asal Aceh. Para mahasiswa, selain menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, juga mengaji ke majelis taklim itu untuk menambah dan memperdalam ilmunya. Dari situlah kemudian Nuruddin diminta oleh beberapa tokoh Muslim Malaysia untuk berdakwah di negerinya.

Ia berdakwah, antara lain, di Kelantan, Kuala Lumpur, Kedah, Perak, dan Penang. Bahkan di Thailand, khususnya di Dala, Thailand Selatan, ia dibuatkan sebuah pesantren yang diberi nama Nuruddin. “Tapi karena faktor keamanan, saya tidak bisa rutin ke Dala. Dulu tiap 4 bulan sekali saya ke sana,” jelasnya. Sedang jadwal dakwahnya di Malaysia bisa sewaktu-waktu dilakukan sesuai permintaan dari sana.

Kepada wartawan majalah Suara Hidayatullah Thariq dan Ibnu Syafaat, pendiri pesantren Az-Zein, Bogor, Jawa Barat, ini berbicara banyak tentang aktifitasnya berdakwah di Malaysia, serta pentingnya sanad dan belajar secara talaqqi yang kini mulai banyak ditinggalkan orang.

Perbincangan dilakukan di pesantrenya Az-Zein, di kawasan Ciampea, Bogor, Jawa Barat, setelah shalat Jum’at.

Bagaimana ceritanya, Ustad aktif berdakwah di Malaysia?

Sewaktu di Mesir saya sudah membina para mahasiswa dari Malaysia yang kuliah di Al-Azhar. Dari situlah kemudian beberapa dari mereka meminta saya berdakwah di negerinya. Alhamdulillah, dakwah saya diterima baik oleh umat Islam di sana.

Mengapa malah mahasiswa dari Malaysia yang banyak mengaji ke Ustad, bukan dari Indonesia?
Sebenarnya, selain dari Malaysia, ada juga dari Thailand dan dari Indonesia asal Aceh. Tapi, jumlah mereka tidak sebesar dari Malaysia. Model pengajian saya berbentuk talaqqi (langsung dibawah bimbingan seorang guru). Pengajian seperti ini banyak diminati para mahasiswa dari Malaysia.

Mereka mengaji ke saya untuk mendapatkan ilmu alat. Memang saya akui, dalam hal ini mahasiswa Malaysia lemah dibanding mahasiswa lain seperti dari Indonesia. Namun, mereka punya kelebihan lain, yaitu serius dan tekun mengaji.

Bagaimana dengan mahasiswa Indonesia yang di sana?

Mahasiswa dari Indonesia lebih senang membuat seminar dan melakukan bedah kitab. Mereka lebih senang dengan sebuah forum yang ada perdebatannya. Sedang dari sisi amaliahnya kurang menonjol. Berbeda dengan mahasiswa Malaysia, jika mendapat pelajaran langsung diterima dan diamalkan. Kalau dibilang sesuatu itu haram ya mereka terima. Makruh, ya makruh. Tidak di otak-atik lagi. Sedang mahasiswa Indonesia tidak seperti itu. Mereka masih memperdebatkan. Mungkin ini karena pengaruh pemikiran Jaringan Islam Liberal (JIL), sekuler, dan lain-lain.

Karena itulah, saya lebih senang mengajar mahasiswa Malaysia. Sebab, sebagai seorang murabbi (guru), saya ingin ilmu yang saya miliki bisa bersambung. Nah, ini sulit kalau dengan mahasiswa Indonesia. Mereka kurang minat dengan pengajian talaqqi. Paling-paling hanya beberapa orang saja yang senang dengan pengajian sepert ini.

Saya pernah mengadakan pengajian di kelompok studi Wali Songo di Nasr City, tapi tidak ada respon yang bagus dari mahasiswa Indonesia. Kalau diajak mengaji kitab, mereka kurang merespon dengan baik, tapi jika diajak bedah kitab dan diskusi, mereka ramai-ramai menghadiri kegiatan tersebut. Inilah yang membedakan dengan mahasiswa Malaysia yang lebih suka mengaji daripada berdebat.

Apakah hal itu memiliki pengaruh?

Iya. Faktanya, mahasisiwa Indonesia banyak yang menonjol dari segi pengetahuan tapi lemah dari segi amal. Karena yang menonjol pengetahuannya, maka lebih banyak yang senang menjadi orang yang diakui perannya di masyarakat. Padahal ini bisa menimbulkan persaingan demi merebutkan peran tersebut.

Maksudnya?

Dalam kehidupan sehari-hari, bisa kita saksikan dampak dari itu semua. Misalkan dalam berpolitik saja, masing-masing aktifis Islam mendirikan partai. Ada sekitar 12 partai Islam yang berdiri di negeri ini. Ini karena masing-masing tokoh partai merasa ilmunya lebih dibanding yang lain sehingga semuanya ingin berperanan.

Sedang di Malaysia cukup satu partai Islam saja, yaitu PAS, yang sekarang bersama Barisan Alternatif menguasai 4 wilayah. Hal ini akan sulit diwujudkan di Indonesia dengan banyaknya partai Islam tersebut.

Banyak kader-keder PAS yang menjadi murid Ustadz di Mesir, apakah Ustadz memiliki hubungan khusus dengan partai Islam ini?

Hubungan khusus tidak. Kegiatan saya di sana bersifat keagamaan saja. Memang saya ada pengajian di Kedah, markasnya PAS. Pengajian tersebut memang besar. Mungkin inilah kontribusi saya hingga hingga PAS menang. Saya bersama pengurus PAS secara intensif mengadakan kajian-kajian di berbagai tempat. Kebetulan pula tempat tinggal saya di Derang, Kedah, juga menjadi markasnya PAS.

Bagaimana sikap pemerintah dalam hal ini UMNO terhadap Ustadz?

Karena kegiatan dakwah saya banyak di wilayah PAS, sehingga saya dinilai oleh UMNO sebagai pendukung PAS. Bagi saya tidak ada masalah, memang kenyataannya yang menghadiri pengajian saya para simpatisan PAS. SUARA HDIAYATULLAH MEI 2008

Hilangnya Keberkahan Ilmu

KH Muhammad Nuruddin Al-Banjari dikenal sebagai ulama yang memiliki banyak sanad. Bukan hanya di bidang Hadits, tapi setiap kitab yang dipelajarinya, sanadnya bersambung kepada pengarang kitab tersebut. Dalam tradisi keilmuan Islam, sanad itu penting. “Menurut ulama salaf, sanad dianggap sebagai bagian dari agama sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Al-Mubarok,” jelasnya.

Nuruddin punya banyak sanad, karena ia termasuk orang yang senang belajar secara talaqqi (langsung dibawah bimbingan seorang guru) kepada para ulama yang memiliki sanad.

Ada sekitar 35 ulama kenamaan yang pernah menjadi gurunya sewaktu ia belajar di Mekkah dan Mesir. Di antara ulama itu adalah Syeikh Al-Allamah Hasan Masshath yang mendapat gelar Syeiku-ul-ulama’ rahimahullah, Syeikh Al-Allamah Muhamad Yasin Al-Fadani rahimahullah yang mendapat julukan Syeikhul Hadits Wa Musnidud Dunya, Syeikh Ismail Usman Zien rahimahullah yang digelari Alfaqih Ad-Darrakah, Syeikh Abd. Karim Banjar hafizohullah, Syeikh Suhaili Al-Anfenani, As-Sayyed Mohd. Alwi Al-Maliki, Syeikh Said Al-Bakistani dan sebagainya.

Tradisi sanad itu sekarang ini oleh Nuruddin diakui lemah karena orang lebih senang belajar secara instant. Sedang belajar secara talaqqi itu memerlukan kesabaran tersendiri. “Sekarang ini maunya serba cepat dalam mencari ilmu,” katanya lagi.

Padahal, menurutnya, para ulama dulu sangat sabar mencari ilmu. Mereka rela berlama-lama belajar kepada seorang ulama sampai tamat. Bukan hanya itu, mereka juga harus mempersiapkan mental yang kuat ketika harus disuruh atau dibentak oleh sang guru. “Kalau anak sekarang dibentak langsung lari,” jelasnya.

Tradisi mencari ilmu dengan menjaga sanad sudah amat langka saat ini, bagaimana komentar Ustadz?

Sebenarnya tradisi itu masih ada di pesantren-pesantren kita. Hanya saja, para santri tidak menanyakan sanad kitab yang dipelajarinya. Mereka tidak peduli melalui siapa saja mendapatkan pengetahuan tentang kitab itu, hingga sampai kepada penulisnya.

Bisa juga karena si kiai tidak terlalu memperhatikan masalah itu. Atau mereka memang belum sempat mendapatkan ijazah tentang periwayatan kitab tersebut.

Di Indonesia, ulama yang memperhatikan sanad itu bisa dihitung jari. Apalagi setelah wafatnya Syeikh Yasin Al Fadani, sebagai seorang musnid. Setelah itu tidak ada lagi ijazah, yang dampaknya kita tidak tahu ilmu yang dipelajari sampai kepada siapa sanadnya.

Pengalaman Ustadz sendiri, dalam memperoleh sanad bagaimana?

Seingat saya, sewaktu belajar di Makkah tahun 80-an, saya mengkaji kitab dengan cara talaqqi, istilahnya dari kulit ke kulit (dari sampul awal hingga sampul akhir).

Nah, setelah itu kita diijazahi. Dengan begitu saya tahu membaca Shahih Al Bukhari dari guru saya, fulan bin fulan, hingga terus sampai kepada Imam Al Bukhari.

Apa sebenarnya fungsi dari sanad sendiri?

Ini terkait dengan masalah tradisi para ulama salaf ketika hendak memberi syarah (komentar) terhadap sebuah Hadits. Kita harus tahu siapa orang yang mensyarah Hadits, atau khasiyah (catatan kaki). Sebab banyak orang bisa memahami sebuah Hadits tapi tidak bisa mengungkapkan dan tidak tepat memaknainya. Inilah sebagian manfaat, min fawaidi at talaqi, supaya kita memaknai hadits itu tepat, walau tidak dijamin 100 persen.

Tapi insya Allah dengan talaqqi pemahaman kita tidak akan lepas dari maksud dan tujuan penulis. Jadi bisa kita katakan al haqiqah ala ma’na shohih.

Kalau begitu, apa dampak negatif jika belajar tanpa didampingi seoarang guru?

Kalau dulu, yang namanya syeikh takharuj, amat menentukan sekali. Dari periwayatan ilmunya bisa diketahui sejauh mana pemahamannya. Akan tetapi jika belajar melalui majalah, internet, CD, atau televisi, sulit diukur pemahamannya. Tapi mereka sudah berani berfatwa sehingga sekan-akan ia siap menjawab semua masalah dalam satu waktu.

Di Indonesia banyak orang-orang terlalu berani berfatwa. Ini berbeda dengan tradisi para salafuna as shalih. Jika ada pertanyaan, maka masing-masing saling menunjuk. Bukan karana tidak mengerti, akan tetapi mereka amat hati-hati. Sebab, jangan-jangan ada yang lebih pandai dan lebih berilmu. Lha kita sekarang hubbu tashadur, pingin berada di depan. Kadang-kadang hal-hal yang di luar bidangnya sudah berani berfatwa.

Apa akibat bagi orang yang bukan bidangnya tapi sudah berani berfatwa?

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Sayidina Ibnu Umar disebutkan bahwa orang yang paling berani mengeluarkan fatwa adalah orang yang menjerumuskan diri ke neraka jahanam. Ajra’ukum ala al fatwa, ajra’ukum ala nari jahanam. Oleh karena itu, para sahabat saling tadafuk (mempersilakan yang lain) dalam fatwa.

Kalau dalam fatwa mereka seperti itu, tapi kalau dalam ibadah mereka akan berlomba-lomba. Jika masalah fatwa, mereka ayakfihi ghoiruhu (menyukupkan dengan orang lain). Misalkan, Ibnu Abi Laila bertanya kepada Abu Hanifah, tapi beliau menyuruh orang tersebut bertanya kepada Zufar. Oleh Zufar disuruh tanya kepada Sofyan At Tsauri. At Tsauri menyuruh bertanya kepada Abu Hanifah.

Akhlak seperti ini sudah sedikit di negeri ini. Banyak orang yang dari segi usia, ilmu, dan pengalaman masih muda, tapi sudah berani berfatwa. Bukan hanya itu, ia juga seenaknya memvonis orang lain mubtadi’ (orang yang berbuat bid’ah), dhaal (sesat) dan lain-lain. Padahal mencela mukmin itu fasiq, apalagi mengkafirkan. Anehnya yang ia sesatkan itu masih dalam batas khilafiah.

Bagaimana pengalaman Ustadz berguru kepada beberapa ulama di Mesir?

Kalau di Mesir biasanya masyayikh yang pakai jubbah yang mengalami belajar secara talaqqi kepada para masayikh sebelumnya di masjid Al Azhar, yang dinamakan al jami’ bukan al jami’ah. Syaikh Muntashir pada waktu itu kalau mengajar tafsir hanya membawa mushaf saja, tidak pernah pakai kitab. Demikian juga Syeikh Sya’rawi tidak pegang al-Qur’an. Orang yang mengajilah yang membawa al-Qur’an. Beliau-beliau ini tidak membawa tafsir karena sudah hafal.

Bagi orang yang tidak pernah talaqqi, dia tidak akan merasakan pancaran nur saat bertemu dengan masyayikh. Ada kiai yang menyuruh baca sekali, dua kali, dan tiga kali, tapi dia tidak menerangkan. Nah, kadang tanpa keterangan itu santri bisa paham sendiri.

Bagaimana Ustadz melihat para pencari ilmu saat ini?

Adab mahasiswa terhadap para dosen sudah tidak ada. Ijlal (memuliakan) masyayih juga tidak ada. Juga penghargaan terhadap karya dan penulis para ulama tidak ada. Itu yang kita rasakan.

Pada jaman saya di Mesir, sudah ada mahasisiwa yang meminta dosennya berhenti, “duktur kifayah ba’ah, dza sa’atain kholas “ (Pak dosen, sudah cukup. Ini sudah dua jam, kapan berhentinya!). Inilah yang menyebabkan faktor keberkahan ilmu itu lenyap.

Jadi, keberkahan ilmu itu tidak diindikasikan dari bisa menulis, ceramah, atau terjun ke masyarakat. Kalau sekadar itu siapa saja bisa melakukannya. Akan tetapi yang namanya keberkahan ilmu itu berhubungan dengan kehidupan. Ia betul-betul mengawal perjalanan hidup.

Jadi, sebelum menyuruh, kita harus sudah disuruh dan mengerjakan. Sebelum melarang, kita harus sudah tinggalkan. Inilah namanya dakwah bil hal yang pengaruhnya cukup kuat.

Kadang ada sebuah masalah yang sudah dijelaskan, dikupas dengan tuntas, tapi tidak berdampak apa-apa. Orang berbicara tasawuf, tapi ia meninggalkan tasawuf .

Lain hal dengan ulama-ulama terdahulu. Kadang hanya dijelaskan dan disuruh baca. Ini yang saya rasakan dengan Syaikh Isamil, Syaikh Yasin, dan Syaikh Hasan Masyat yang tidak sama mengajarnya dan sedikit penjelasanya. Tapi alhamdulillah, kawan-kawan yang di Makkah semuanya menjadi kiai, khususnya yang berada di Madura.

Apakah bisa dikatakan bahwa hanya bertemu dengan guru sudah membantu sebuah pamahaman?

Sering kali kita belum bertanya ternyata sudah mendapat jawaban. Ada yang ingin kita tanyakan tentang malabis (masalah pakaian), adab naum, adab al aql (makan), adab al masyi (berjalan), jilsah (duduk), atau ibadah. Kadang kita sudah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan, akan tetapi dengan duduk saja sudah memahami keterangan guru. Saya rasa sudah jarang ada ulama yang memiliki ittishal ruhi (hubungan ruh), itishal batin (hubungan batin), dan mampu memperolah jawaban pertanyaan-pertanyaannya tanpa harus bertanya terlebih dahulu.

Siapa contohnya?

Contohnya, Syaikh Abu Hasan Ali An Nadawi. Ia tergolong murid paling bebal dan susah memahami sesuatu. Suatu ketika kebetulan orangtua guru beliau sakit sehingga pengajian hendak diliburkan. Melihat hal itu Syeikh Abu Hasan berkata kepada gurunya, ”Syeikh ngajar saja, biar persoalan orangtua saya yang nangani.”

Akhirnya Abu Hasan ini yang merawat orangtua gurunya. Di saat pengajian selesai dan si guru masuk ruangan, ia melihat Abu Hasan membersihkan kotoran orangtuanya yang sedang buang air. Akhirnya si Syaikh meneteskan air mata dan mengucapkan barakallah fik (semoga Allah memberkatimu) dan mendoakannya.

Akhirnya, seperti diceritakan sendiri oleh Syeikh Abu Hasan Ali An Nadawi bahwa sejak itu pikirannya menjadi terbuka, sehingga para ulama Mesir terkagum-kagum dengan tulisan An Nadwadi dan karya-karyanya. Padahal beliau masih berumur 19 tahun. Di antaranya yang kagum adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi, As Sya’rawi, dan Sayyid Qutub.

Orangtua biasanya kasihan dengan kesehatan fisik kita. Tapi guru itu kasihan dengan ilmu kita. Sehingga kalau kita belajar dengan seorang guru, maka ilmu akan lebih mudah diserap dan berdampak.

Ilmu terserap tidak hanya karena pengajian kita, tapi doa dan munajat para guru. Dalam buku-buku ulama klasik biasanya tertulis, i’lam hadaniya Allah wa iyakum (ketahuilah, semoga Allah memberi hidayah kepada saya dan diri kalian). Itu doa untuk pembaca kitab. Nah, mana ada majalah yang seperti itu?

Apakah talaqqi terlalu susah, sehingga banyak yang lari dengan membaca buku sendiri?

Tak susah juga, mungkin karena para masyayih sekarang tidak ada waktu untuk meluangkan diri mengajar dengan tradisi seperti itu. Yang bisa seperti itu biasanya kiai-kiai zuhud, yang merasa cukup dengan keadaan apa adanya. Sedang bagi kiai yang hidupnya harus menyesuaikan keadaan, tidak ada waktu untuk itu.

Masayikh–masayikh ana (saya) di Mekkah itu keperluannya sudah dipenuhi. Sehingga mereka tidak hanya menyumbangkan ilmu, tapi juga materi. Ngaji di sana digaji, bagaimana tak betah? Kalau pas zakat setiap guru memberi 500 real. Kalau lima guru saja sudah hampir 3.000 real atau Rp 7 juta. Nah, sekarang mana ada masyayikh seperti itu.

Sekarang malah sebaliknya, santri yang dikuras. Jadi sudah susah ditemukan seorang syeikh yang memiliki waktu untuk talaqqi, padahal kalau dulu sampai imla’ hadits.

Imam Yahya Ibnu Ma’in itu punya harta besarnya satu milyar dirham. Semuanya diinfaqkan untuk mencari ilmu, hingga sandal saja tidak punya. Jadi dulu duit dihabiskan untuk ilmu, kalau sekarang sebaliknya, ilmu untuk cari uang. SUARA HIDAYATULLAH MEI 2008

Mengharamkan Cangkok Organ dan Rokok

Nuruddin lahir di desa Harus, Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 1 September 1960. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara, dari sebuah keluarga yang taat beragama. Ibunya, Hajjah Rahmah binti Haji Muhammad Sobri adalah puteri seorang ulama besar di Kalimantan Selatan.

Pendidikan dasarnya dilalui di kampung Harus. Kemudian pada tahun 1974 belajar di pondok pesantren Normal Islam. Belum sempat tamat, seluruh keluarganya berhijrah ke tanah suci Makkah. Akhirnya ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Shaulathiah, Mekkah.

Ketika masih dibangku aliyah (SMA), ia sudah mengajarkan kitab Qatrunnada, Fathul Mu’in, ‘Umdatussalik, Bidayatul Hidayah dan lain-lain kepada para pelajar dari Indonesia yang bermukim di Mekkah. Sejak menjadi pelajar, ia dikenal sebagai murid yang serius belajar. Hampir semua ulama di Mekkah ia datangai untuk menimba ilmunya. Ada sekitar 35-an ulama kenamaan di Makkah dan sekitarnya yang pernah menjadi gurunya.

Tamat dari madrasah tahun 1982 dengan nilai mumtaz, tahun berikutnya, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar asy-Syarif dalam bidang syariah hingga mendapat gelar sarjana muda. Kemudian, meneruskan ke Ma’had ‘Ali Liddirasat al Islamiah di Zamalik sehingga memperolehi diploma “Dirasat ‘Ulya” pada tahun 1990.

Lulus dari situ ia kemudian berdakwah di kalangan pelajar yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, yang menuntut ilmu di Universitas al Azhar.

Selain akif mengisi kajian, ia juga produktif menulis buku. Karyanya sudah mencapai 50 buah yang rata-rata ditulis dalam bahasa Arab. Sebut saja misalkan Al Ikhathah bi Ahammi Masail Al Haidh wa Al Istikhadhah, yang membahas masalah haidh dan istikhadhah. Juga Ikhtishar Manaqib Al Imam As Syafi’I lil Imam Al Baihaqi, Ta’liq (komentar) Bustan Al ‘Arifin Imam Nawawi, serta Tahqiq (studi manuskrip), Iqamatu Al Hujjah, ala ana Al Iktsar fi At Ta’abbud Laisa bi Bid’ah, karya Imam Laknawi.

Selain berhubungan dengan karya para ulama klasik, karyanya juga ada yang mengkaji beberapa masalah kontemporer. Misalkan, dalam kitabnya berjudul Adillah Tahrimi Naqli Al A’dha’ Al Adamiyah (Dalil-dalil Haramnya Transplantasi Organ Tubuh Manusia). Buku ini ditulis di Kairo pada tahun 1995. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa masalah transplantasi (pencangkokan organ tubuh) adalah masalah khilaf.

Selain ada yang melarang pencangkokan aorgan tubuh, banyak pula ulama yang membolehkannya, seperti Syeikh Jadd Al Haq, Syeikh Athiyah Shaqar, Dr. Ahmad Umar Hasyim. Ketiga-tiganya adalah gurunya. Adapun ulama yang membolehkan namun dengan syarat bahwa hal itu tidak membahayakan bagi pendonor dan bermanfaat bagi pasien adalah Dr. Al Qaradhawi dan Dr. Thantawi. Jika tidak memenuhi syarat itu, semuanya sepakat tidak membolehkan.

“Saya cenderung mengikuti ulama yang tidak membolehkan secara mutlak, seperti Syeikh Abi Fadhl Muhammad bin As Shidiq Al Gumari, Dr. As Salam As Sukri, dan lain-lain,” jelasnya.

Salah satu dalil yang digunakan dalam pengharaman ini adalah ijma’. Kiai yang terlihat enerjik ini menyebutkan bahwa para fuqaha tidak ada perselisihan atas larangan memanfaatkan bagian tubuh dari manusia. “Ijma ini disebutkan dalam Al Maratib Al Ijma’ oleh Ibnu Hazm juga An Nawai dalam Al Majmu,” terangnya lagi.

Disamping masalah pencangkokan organ tubuh, masalah kontemporer yang tak luput dari perhatiannya adalah hukum rokok, ditinjau dari dalil-dalil syar’i. Dalam masalah ini, dengan tegas ia menyatakan bahwa merokok adalah haram. Dalam buku yang berjudul Ifadah Al Ikhwan bi Adillah Tahrim Syarb Ad Dukhan, ia menjelaskan dalil-dalil yang dijadikan pijakan, disertai dengan hasil penelitaian para ilmuan tentang bahaya rokok.

Murid Syeikh Yasin Al Fadani –ulama yang memiliki periwayatan hingga Ibnu Hajar Al Atqalani, para penulis Sunan Empat, hingga Al Bukhari– ini menyatakan bahwa salah satu penyebab kelaparan di dunia ini adalah karena rokok. “Ratusan miliar dolar menguap tiap tahun,” terangnya.

Menurutnya, kerugian justru datang dari penanaman tembakau. Akibatnya, banyak lahan yang dipakai menanam tembakau daripada menanam bahan-bahan makanan.

Pengolahan tembakau pun menurutnya memerlukan biaya yang tidak murah. “Para karyawan yang bekerja di pabrik rokok itu sia-sia usahanya, karena melakukan aktifitas yang tidak berguna,” katanya mantap.

Seandainya aktifitas mereka dipindah ke industri bahan makanan, niscaya itu lebih baik dan bermanfaat. Belum lagi, perawatan penyakit yang disebabkan oleh aktifitas merokok, sehingga banyak tenaga produktif yang berkurang karena sebagian dari mereka sakit dan meninggal akibat nikotin.

“Dari sinilah, bisa dijawab, darimana asalnya kelaparan dan kekuarangan pangan?” katanya berargumen tentang madharat rokok dilihat dari berbagai aspek.

Adapun dalil-dalil tentang nash, beliau berpijak dengan beberapa ayat, salah satunya adalah Al Baqarah 95, yang artinya, ”Dan janganlah kalian mencampakkan diri dalam kebinasaan”. Merokok, menurut peneliatan ilmiah menyebabkan penyakit yang bisa berujung kepada kematian. “Oleh karena itu menghisapnya termasuk perbuatan yang dilarang, karena menjerumuskan diri kepada kecelakaan,” jelasnya.

Disamping menunjukkan dalil, ia juga merujuk pendapat para ulama tentang haramnya merokok. Salah satunya adalah fatwa gurunya Prof. Dr. Abdu Shabur Sahin, salah satu ulama Mesir, yang menyatakan bahwa merokok termasuk kabirah jarimah (tindak kejahatan berat). Karena, ketika seorang merokok, maka otomatis asap racunnya menggangu mereka yang berada di sekitar, seperti para wanita, anak-anak, bahkan janin yang tidak berdosa, serta menyebabkan orang lain ikut-ikutan merokok.

“Kalau sekedar membunuh diri, cukuplah dirinya sendiri. Akan tetapi perokok juga mengajak yang lain untuk celaka bersamanya,” katanya menukil perkataan gurunya. SUARA HIDAYATULLAH MEI 2008